RANTEPAO – Kasus dugaan perampasan mobil truk milik Benyamin Kunne’ oleh dua debt collector (DC) SMS Finance Toraja, berinisial JN dan TI, membuka kembali perdebatan panjang tentang praktik penarikan kendaraan oleh perusahaan leasing.
Peristiwa yang terjadi di Jalan Hombes, Kecamatan Telluwanua, Palopo, 8 Agustus 2025 lalu, kini masuk tahap penyelidikan Polres Palopo.
Polisi telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pemeriksaan (SP2HP) pada 25 Agustus 2025 sebagai tanda penanganan kasus ini resmi bergulir.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, di balik laporan itu, tersimpan persoalan lebih besar: lemahnya perlindungan konsumen terhadap praktik “paksa” debt collector di lapangan.
Kronologi dan Ancaman
Benyamin mengaku hanya menunggak angsuran selama dua bulan dengan nilai sekitar Rp5 juta dari pinjaman Rp55 juta di SMS Finance. Truknya kemudian ditarik saat ia melintas di Telluwanua.
“Saya dipaksa tanda tangan surat. Mereka bilang, ‘Polisi saja kami bisa tangkap, apalagi kamu’. Karena takut, saya turuti,” ungkap Benyamin di hadapan penyidik Polres Palopo, Bripka Ronald Bandaso.
Mirisnya, kendaraan yang disebut hanya akan “dititipkan”, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
Benyamin bahkan mengaku harus menebus kembali truk tersebut dengan biaya tambahan hingga Rp20,4 juta.
Sorotan Praktisi Hukum: Jerat Pidana Berlapis
Praktisi hukum Jerib R Talebong, MH, menilai kasus ini bukan sekadar wanprestasi kredit, melainkan sudah masuk ranah pidana.
“Jika terbukti ada perampasan dan intimidasi, debt collector bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP (pemerasan), Pasal 365 KUHP (pencurian dengan kekerasan), dan Pasal 378 KUHP (penipuan),” ujarnya.
Tak hanya itu, menurut Jerib, pimpinan perusahaan pembiayaan maupun pihak yang memberi perintah juga dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Pasal 55 KUHP mengatur pidana penyertaan. Jadi, orang yang menyuruh atau turut serta dalam tindak pidana bisa dihukum setara dengan pelaku langsung,” jelasnya.
Ia menambahkan, eksekusi jaminan fidusia wajib melalui pengadilan. Debt collector tidak memiliki kewenangan hukum untuk menarik kendaraan di jalan.
“Kontrak kredit tidak bisa menghapus aturan hukum. Kalau leasing ingin eksekusi, ajukan ke pengadilan. Itu jalur yang sah,” tegas Jerib.
Dampak Sosial: Konsumen yang Tak Berdaya
Kasus Benyamin bukan yang pertama. Di banyak daerah, praktik penarikan paksa kendaraan oleh debt collector kerap terjadi.
Pola yang sama muncul: intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan fisik.
Konsumen berada di posisi lemah, karena kurang memahami hukum. Benyamin sendiri merasa tidak punya pilihan saat dihadapkan dengan ancaman.
“Saya pasrah saja. Apalagi mereka bilang bisa menangkap polisi,” katanya.
Situasi ini menunjukkan betapa besar ketimpangan kekuatan antara debitur dan debt collector di lapangan.
Polisi Mulai Bergerak
Polres Palopo melalui Kanit Pidum, Ipda H Manurun, membenarkan bahwa kasus ini tengah ditangani.
“Korban sudah diperiksa, SP2HP sudah diterbitkan. Selanjutnya kami akan memanggil terlapor dan pihak SMS Finance Toraja,” jelasnya.
Meski begitu, publik menunggu langkah tegas aparat dalam menindak debt collector dan perusahaan leasing yang terbukti melanggar hukum.
Mencari Jalan Keluar
Kasus ini membuka ruang diskusi lebih luas: bagaimana mengatur secara tegas aktivitas debt collector agar tidak merugikan konsumen?
UU Fidusia sudah jelas mengamanatkan eksekusi lewat pengadilan, namun praktik di lapangan kerap berbeda.
Praktisi hukum menilai, solusi ada pada keberanian aparat menegakkan aturan serta kesadaran masyarakat untuk melapor bila menjadi korban.
“Hukum harus melindungi yang lemah. Jangan sampai debt collector lebih berkuasa dari pengadilan,” tutup Jerib.
Kasus Benyamin Kunne’ hanyalah satu contoh dari banyak kasus serupa.
Namun, dari sinilah masyarakat belajar bahwa menunggak angsuran bukan berarti membuka pintu bagi siapa saja untuk merampas hak secara paksa. Jalur hukum adalah satu-satunya jalan yang sah.(*)
Penulis : Moh Fadhli Wahab
Editor : Erlinuddin